Jumat, 28 Oktober 2011

Di Jepang, Wanita RT Tak Bekerja Dapat Tunjangan

KUNINGAN (SJB).- LAJU Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Negara Jepang yang meningkat secara drastis, menjadikannya sebagai salah negara termaju di Asia. Selain kemajuan teknologi dan tingginya etos kerja, juga adanya regulasi pemerintah setempat memberikan tunjangan sosial kepada rakyatnya, dalam hal ini,  wanita rumah tangga tidak bekerja secara formal karena mengurus anak-anaknya di rumah.
Demikian disampaikan Presiden Studi Jepang Untuk Kemajuan Indonesia (PUSJUKI), DR. (Hc) Anni Iwasaki, dalam Seminar Internasional Alih Ilmu Teknologi dan Industri Inspirasi dari Jepang ‘Membangun Pemuda Peduli Perubahan Iklim dan HIV/AIDS’ di Gedung Student Center Universitas Kuningan.
           Anni menerangkan, kemajuan ekonomi Jepang diantaranya karena sistem dan undang-undang yang digulirkan pemerintahnya benar-benar dijalankan. Misalnya saja, wanita yang sudah menikah dan tidak bekerja di sektor formal tetapi memilih menjadi ibu rumah tangga dan mendidik anak-anaknya, maka pemerintahnya memberikan isentif atau tunjangan.
Para keluarga muda di Jepang merupakan pusat pembangunan manusia Jepang sejak dini. Para wanita berfungsi sebagai ‘ibu manusia’ memegang peranan penting membangun karakter bangsa. “Di Jepang disebut ‘mitsu no tamashi’ atau Golden Age, yaitu tiga tahun pertama paling penting untuk perkembangan otak bayi,” katanya.
Anni mengutip data Kementrian Kesehatan, Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan Jepang, menyebutkan, tahun fiskal 2005 tercatat 88,5% ibu muda Jepang mengundurkan diri dari tempat bekerja setelah kelahiran anak pertama dan pada usia 40-45 kembali memasuki lapangan kerja.  
Posisi pekerjaan yang ditinggalkan para ibu muda untuk membangun karakter bangsa Jepang sejak dini, diisi oleh para mahasiswa sebagai pekerja paruh waktu. “Disinilah kunci kesetaraan gender menjaga keseimbangan kemajuan dan pengembangan ekonomi nasional Jepang. Kalau di Indonesia disebut UUD RI 1945,” katanya.
Implementasi kesetaraan gender di Jepang adalah kesetaraan membangun keluarga yang diundangkan pula oleh Universal Declaration of Human Right UNO 1948 article 25. Misalnya, dalam point dua berbunyi ; Ibu dan anak berhak atas perawatan khusus dan bantuan. Semua anak, baik lahir dalam atau diluar nikah, haurus menikmati perlindungan social yang sama.
Dengan demikian, lanjut Anni, para ayah di Jepang mendapatkan prioritas menduduki lapangan kerja tetap dan bebas berkompetisi dengan para bapak di negara-negara maju. “Tidak heran apabila World Economic Forum Global Competitiveness Jenewa tahun 2010-2011, Jepang berada diperingkat satu inovasi dan factor kecanggikan atau sophisticated saintek dan industri,” jelasnya. 
Jika hal itu diterapkan di Indonesia, ia yakin negara yang memiliki SDM dan SDA melimpah akan mampu mendongkrak ekonominya. Namun metode itu sangat sulit direalisasikan karena sistem regulasi di Indonesia seperti yang tercantum dalam UUD 1945 tidak lebih hanya sebuah retorika.
Dalam UUD 1945 Bab XIV Pasal 34 ayat 1 (satu) berbunyi : Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Ayat 2 (dua) : Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Bukan hanya itu, kata Anni, di Jepang terdapat 172 perguruan tinggi khusus wanita (joshii dai) yang mengajarkan ilmu pengetahuan keluarga, teknologi dan industri rumah tangga atau biasa disebut sain-domestik. Padahal sekolah seperti itu awalnya digagas pahlawan nasional, seperti RA. Kartini, Maria Walanda Maramis dan Rd. Dewi Sartika serta Nyi Achmad Dahlan.
HIV/AIDS Posisi ke-87 Dunia 
Kemajuan ekonomi Jepang tidak luput dari perubahan perilaku kehidupan masyarakatnya, termasuk mengenai seks. Negara ini berada diurutan ke 87 dengan jumlah penderita 12 ribuan. Jumlah itu lebih kecil dibandingkan Indonesia yang menempati  posisi 47, sebanyak 110 ribu kasus HIV/AIDS.
           “Pemerintah Jepang sangat serius dalam menangani HIV/AIDS, mulai sosialisasi seks sehat pra nikah dan menikah hingga alokasi anggaran pemerintah cukup besar. Sehingga Jepang menempati urutan ke 87 atau lebih kecil dibandingkan Indonesia,” katanya. (deha)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar