Rabu, 20 Juli 2011

Studi Banding, Dalam Perspektif Integritas Publik

* Dadang Hendrayudha
STUDI banding, bentuk kegiatan methodology pembanding dengan cara melakukan kunjungan ke tempat lain. Tujuannya untuk menambah wawasan, menimba pengalaman baru, membandingkan dan menambah cakrawala berfikir. Siapapun bisa melakukannya, tak terkecuali pejabat pemerintah daerah. Untuk yang satu ini, biasanya dikemas dalam format kunjungan kerja (kunker).   
            Idealnya, pejabat pemda yang akan ‘menimba ilmu’ ke daerah lain, terlebih dahulu harus mengetahui realitas keberhasilan daerah yang dituju. Adanya faktualisasi komprehensif, terintegrasi dan didukung akurasi data yang valid, bukan atas dasar informasi ‘mercusuar’. Intinya, kredibilitas dan akuntabilitas daerah yang akan dikunjungi, harus lebih baik dibandingkan kondisi daerahnya.   
Lalu, bagaimana jika pemda yang pernah diberi ‘nilai merah’ oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI, tetapi menjadi sasaran studi banding. Misalnya salah satu pemkab di Provinsi Jawa Barat, berdasarkan Hasil Survey Integritas Sektor Publik KPK-RI tahun 2009, menempatkan pemkab ini di urutan ke-2 dari 15 Pemkab/Pemkot : Skor Integritas Terendah.  
            Bukan hanya itu, akhir-akhir ini masyarakatnya dikejutkan oleh munculnya data dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA). Seperti dilansir beberapa media cetak nasional, menyebutkan, di Indonesia terdapat 16 Pemkab/Pemkot dalam penyusunan APBD TA 2011, pos Belanja Pegawai (untuk membayar gaji PNS, red) sangat tinggi. Pemkab yang dimaksud penulis, menempati urutan ke-10 yakni 71%. 
Data itu cukup rasional, mengingat dalam APBD Perubahan TA 2010, pos Belanja Tidak Langsung mencapai 71,14%. Kemudian pos Belanja Pegawai dari total Belanja Tidak Langsung sebesar 87,98%. Sehingga pelayanan publik tidak optimal dan pemborosan anggaran karena jumlah PNS overload. Akibatnya, Dana Alokasi Umum (DAU) dari Pemerintah Pusat, terkuras untuk membayar gaji PNS.
            Pos Belanja Pegawai mengorbankan pos Belanja Tidak Langsung lainnya, seperti Belanja Hibah, Belanja Bantuan Sosial, Belanja Bagi Hasil, Bantuan Keuangan ke Desa dan Belanja Tidak Terduga. Kendati Pendapatan Daerah direncanakan meningkat sebesar 16,88% dari 957,57 miliar rupiah menjadi 1,11 triliun rupiah, namun penyusunan APBD tidak pro rakyat.
Kalau begitu, untuk apa pejabat dari pemkab lain melakukan studi banding ke pemkab ini ?. Apa benar akan diperoleh ilmu dan pengalaman yang nantinya diaplikasikan di daerahnya ?. Ataukah kedatangannya hanya sekedar ‘mem-formal-kan’ SPJ dan SPPD kunker yang dibiayai APBD ?. Kemungkinan lainnya adalah studi banding dalam rangka mem-banding-kan kepalsuan di daerahnya.
Penulis tidak bermaksud menjustifikasi, apalagi menggulirkan persepsi prematur maupun pendapat yang cenderung tendesius. Namun, penyelenggara negara di tingkat pusat sudah membuat aturan mengenai penggunaan APBD, yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri RI (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006, Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Misalnya, Bab I Pasal 4, Ketentuan Umum, Bagian Ketiga, Azas Umum Pengelolaan Keuangan Daerah, dinyatakan, “Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efektif, efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggungjawab dengan memperhatikan azas keadilan, kepatutan dan manfaat untuk masyarakat”.
Kunker studi banding pejabat pemerintah, sah-sah saja. Karena apapun yang dilakukan pejabat, rakyat tidak akan tahu. Bagaimana pendapat anda ?.
**) Wartawan Seputar Jabar, tinggal di Kuningan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar